Halaman

Kamis, 27 Februari 2014

Tiga Type Guru dalam Perspektif ICT

Tulisan ini berangkat dari hasil diskusi saya dengan Bapak Agus Sampurno dari Global Jaya School, Juara Pertama Acer Guraru (Guru Era Baru) Award 2011 (The New Era Teachers Ambassador 2011) angkatan pertama; beserta seorang kenalan baru dari situs Goesmart, Kang Denny Nugroho; mengenai perkembangan dunia pendidikan kaitannya guru dari sudut pandang ICT (Information and Communication Technology).

Setelah seminar ICT pada event ICT Indonesia Expo 2012 berjudul ”Optimalisasi Pemanfaatan ICT untuk Pembelajaran Abad 21” tersebut, kami bertiga mendiskusikan bagaimanakah kualitas guru kaitannya dalam pemanfaatan ICT (pada konteks guru di sekolah lebih akrab dikenal dengan TIK [Teknologi Informasi dan Komunikasi]). Apalagi saya yang berangkat dari EDUQO sebagai portal berita teknologi untuk pendidikan, terpanggil dalam menggalinya lebih lanjut mengenai fenomena kaderisasi Guru Ultra-Hi-Tech ini.

Sekilas mengenai seminar tersebut bahwa peran dan posisi ICT dalam proses KBM di kelas, sangat mendukung Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) 2010-2014; khususnya pada satu dari lima Renstra tersebut, yaitu ”Meningkatkan Kualitas/Mutu dan Relevansi Layanan Pendidikan” (dengan strategi teknisnya: ”Penyempurnaan Sistem Pembelajaran”). Bahkan ICT untuk pendidikan, tergolong sebagai salah satu dari sembilan terobosan pendidikan yang diakui pemerintah berdampak masal. Tetapi, berdasarkan data yang dipresentasikan Bapak Mohammad Ihsan selaku Sekretaris Jendral Ikatan Guru Indonesia (IGI), bahwa terdata di Republik ini sekitar 79% guru tidak menggunakan internet. Padahal dalam konteks ICT betapa mengakses internet merupakan salah satu keterampilan dasar (selain tentu saja sebelumnya piawai mengoperasikan komputer)  memasuki dunia teknologi selanjutnya.


Fakta nasional tersebut semakin mengkhawatirkan jika saya komparasikan dengan data riset World Economic Forum mengenai ranking ”Networked Readiness Index” Republik Indonesia. Indeks tersebut mengukur kesiapan berjejaring secara internet maupun intranet suatu negara dengan parameter tiga aspek:

1-Lingkungan ICT yang tersedia baik dalam lingkup negara atau komunitas;
2-Kesiapan pelaku utama ICT baik secara individu, bisnis, ataupun pemerintahan; dan
3-Penggunaan ICT di kalangan stakeholder.

Dengan ranking indeks itu, suatu negara yang menempati posisi puncak, menunjukkan tingkat daya saing dan kemajuan peradaban tertingginya dibandingkan negara lain. Sekalipun pada periode tahun 2011 Republik Indonesia naik ranking dengan menempati posisi ke-53 setelah sebelumnya pada tahun 2010 menempati ranking ke-67 (naik 14 tingkat); namun masih jauh kalah dengan Singapura (ranking ke-2) yang padahal secara kemerdekaan negara lebih telat 20 tahun dibandingkan Indonesia.

Di tingkat ASEAN, Indonesia memang menempati ranking ke-3 di bawah Malaysia (ranking ke-28) dan tentu saja ranking ke-1 yaitu Singapura; namun masih memerlukan kerjasama keras dan cerdas antar internal komponen bangsa, agar bisa memasuki, setidaknya 10 besar negara dengan tingkat ”Networked Readiness Index” tertinggi, menggeser salah satu negara berikut ini:

Peringkat ke-1: Swedia.
Peringkat ke-2: Singapura.
Peringkat ke-3: Finlandia.
Peringkat ke-4: Swiss.
Peringkat ke-5: Amerika Serikat.
Peringkat ke-6: Taiwan.
Peringkat ke-7: Denmark.
Peringkat ke-8: Kanada.
Peringkat ke-9: Norwegia.
Peringkat ke-10: Korea Selatan.

Guru-guru dengan kualitas Ultra-Hi-Tech sangat dibutuhkan Republik Indonesia hari ini demi mencetak generasi bangsa masa mendatang dengan SDM kompetitif secara kualitatif. Bahkan secara historis, urgensi aplikasi ICT dalam segenap aspek kehidupan bangsa Republik Indonesia sesungguhnya telah mulai menjadi perhatian pemerintah sejak era reformasi sekitar tahun 1998. Pada fase ”kebebasan” bersuara itu, pemerintahan era reformasi bahkan membentuk satuan khusus (task force) yang bertugas merencanakan dan melaksanakan penerapan ICT di Indonesia.

Task force tersebut mengklimaks pada tahun 2006 dengan dibentuknya Dewan TIK Nasional (DeTIKNas)—tentu kita telah mengetahui terminologi ”TIK” (Teknologi Informasi dan Komunikasi) lebih dikenal ketimbang ”ICT” (Information and Communication Technology) di kalangan dunia pendidikan—melalui Keputusan Presiden No. 26 tahun 2006. Satu fakta menarik yang saya temukan dalam buku ”Jejaring e-Pendidikan 2011” terbitan Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (PUSTEKKOM), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2011; bahwa salah satu program kerja unggulan DeTIKNas yaitu penerapan TIK untuk pendidikan (e-pendidikan) yang pelaksanaannya terletak pada otoritas Kementrian Pendidikan Nasional.

Ilustrasi Guru Masa Depan Indonesia
Guru sebagai ujung tombak dalam proses pendidikan di sekolah, tentunya menjadi sosok pertama yang menerapkan TIK untuk pendidikan terkhusus dalam proses KBM. Apalagi pemerintah memang mengakui, keberhasilan penerapan TIK untuk pendidikan, berefek positif terhadap efektivitas dan efisiensi proses pendidikan itu sendiri. Efek positif selanjutnya dari penerapan TIK untuk pendidikan yaitu menghasilkan masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society). Harapan pemerintah bahwa kelak muncul generasi bangsa Indonesia berpengetahuan yang terus mengembangkan diri secara kontinyu (long life learning) dan meningkatkan produktivitasnya.

Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) sebagai salah satu infrastruktur yang berfungsi tak ubahnya ”jalan raya” untuk lalu lintas pengakses ke pusat-pusat penyedia aplikasi dan konten e-pembelajaran, sudah mengembangkan aneka bentuk e-pembelajaran. Dalam hal ini, terdapat peran Guru yang dituntut untuk memiliki tingkat kemampuan teknologi tertentu secara personal, khususnya untuk menggunakan dua bentuk e-pembelajaran dari empat yang bisa dimanfaatkan secara luas, yaitu: (1) Portal Rumah Belajar; dan (2) Buku Sekolah Elektronik (BSE). Bentuk e-pembelajaran itu sendiri memberikan manfaat diantaranya bagi para Guru sebagai berikut:

(1) Memperoleh materi pembelajaran dengan akses lebih mudah;
(2) Meningkatkan kompetensi pedagogik pendidik, salah satunya kreativitas serta inovasi mengembangkan konten pembelajaran; dan
(3) Meningkatkan komunikasi interaktif dengan para peserta didik tanpa batas ruang dan waktu.

Lalu, bagaimanakah kesiapan para Guru menyikapi perubahan metode KBM kaitannya dalam penguasaan teknologi untuk mengaplikasikan bentuk e-pembelajaran tadi?


Saya sarikan tiga type Guru dalam perspektif ICT hasil diskusi saya dengan Pak Agus Sampurno yang jeli mengamati rekan seprofesinya di lapangan, apalagi saat beliau menjalankan perannya sebagai The New Era Teachers Ambassador 2011, versi produsen komputer Acer:

Type pertama: Low-Tech Teacher.
Pada kategori ini, berkumpulnya komunitas Guru yang benar-benar tidak mengerti sama sekali bagaimana cara mengoperasikan komputer sekalipun! Anak-anak abad 21 lazim menyebut fenomena demikian dengan sebutan ”gaptek” (gagap teknologi). Menurut Pak Agus, beberapa Guru low-tech ini masih kebingungan untuk apa mouse yang berada di samping komputer tersebut. Bagi mereka, komputer merupakan benda ”mewah” menakutkan untuk disentuh.

Type kedua: Mid-Tech Teacher.
Guru-guru pada kelompok ini sudah mulai bisa menggunakan komputer, mencakup penguasaan MS Office [Excel, Word, Power Point] dan termasuk Internet tingkat dasar; sebutlah mengirim e-mail bahkan hanya sekedar aktif di jejaring sosial seperti Facebook. Tetapi, mereka belum mengetahui bahwa betapa banyak software, aplikasi, situs, fitur apapun itu namanya dalam ruang lingkup ICT; yang sebetulnya memiliki nilai pendidikan kental untuk mempermudah proses KBM.

Type ketiga: Hi-Tech Teacher.
Penguasaan teknologinya sudah di atas rata-rata pada umumnya para Guru. Mereka memahami bahwa terdapat software pembelajaran bertebaran bahkan tanpa dikenai biaya; mengerti aplikasi pembelajaran yang bisa membantu proses KBM mereka; mengetahui situs penyedia materi tambahan pelajaran yang bisa memahamkan siswanya lebih dalam; tetapi guru pada kategori ini segera berdalih: “Jadi, untuk apa kami mengajar, jika teknologi sudah menjadi ‘Guru’ bagi para murid?!

Pak Agus memahami benar bahwa sense of learning di antara beberapa Guru berada dalam tingkat menyedihkan. Need for achievement para Guru tersebut untuk memberikan proses KBM yang terbaik masih lemah, terkecuali diiming-imingi “amplop” pelicin dan atau kredit sertifikasi tertentu demi menunjang kenaikan karirnya. Bahkan data yang terkuak oleh IGI pada seminar yang diatas tadi sempat saya sebut mengungkap; jikapun Guru telah naik jabatan dengan kenaikan sejumlah remunerasi tertentu, hanya 7% saja yang mereka investasikan untuk membeli media pembelajaran yang menunjang. Tantangan dalam aplikasi ICT untuk pendidikan, berupa kesiapan Guru secara SDM itu memang mengklimaks pada permasalahan mendasar: MINDSET.

Itupun yang menjadi alasan kuat betapa salah satu dari tema pelatihan IGI yaitu motivation training agar Guru senantiasa memberikan yang terbaik dalam proses KBM mereka serta ICT training terkhusus pada aplikasi teknologi untuk proses KBM juga. Begitupun dengan Acer melalui ajang Guraru (Guru Era Baru) Award sebagai bentuk apresiasi terhadap Ultra-Hi-Tech Teacher dalam pemanfaatan teknologi secara efektif dan kreatif. Belum lagi Konsorsium Gerakan Guru Melek Internet (KGGMI); Asosiasi Perguruan Tinggi Komputer (Aptikom); hingga bahkan PT Telkom Indonesia yang mengampanyekan agar Guru mengoptimalkan ICT. Hal ini beralasan kuat pada satu hal bahwa untuk mengedukasi para Guru tersebut agar “melek” ICT, bukanlah pekerjaan hanya satu institusi, melainkan kerja gotong-royong semua komponen bangsa.

Maka jawaban solutif untuk menjawab fenomena kultur kontra-produktif yang “sangat khas Indonesia” ini berupa pemberian contoh dengan mengkader Ultra-Hi-Tech Teacher: sosok yang sangat menguasai ICT, namun tetap mengajar di lapangan dengan pemahaman bahwa murid pun masih memerlukan sentuhan manusia. Inilah eranya “Hi-Tech, Hi-Touch” dimana keseimbangan hidup senantiasa dipertahankan untuk menjaga keserasian kehidupan alam semesta.

Jadi, Anda yang berprofesi sebagai Guru, termasuk kategori yang mana?


Sumber: http://www.eduqo.com/2012/06/tiga-type-guru-dalam-perspektif-ict.html