Tulisan ini berangkat dari hasil diskusi saya dengan Bapak
Agus Sampurno dari Global Jaya School, Juara Pertama
Acer Guraru (Guru Era Baru) Award 2011 (
The New Era Teachers Ambassador 2011) angkatan pertama; beserta seorang kenalan baru dari situs
Goesmart, Kang Denny Nugroho; mengenai perkembangan dunia pendidikan kaitannya guru dari sudut pandang ICT (
Information and Communication Technology).
Setelah seminar ICT pada
event ICT Indonesia Expo 2012 berjudul ”
Optimalisasi Pemanfaatan ICT untuk Pembelajaran Abad 21”
tersebut, kami bertiga mendiskusikan bagaimanakah kualitas guru
kaitannya dalam pemanfaatan ICT (pada konteks guru di sekolah lebih
akrab dikenal dengan TIK [Teknologi Informasi dan Komunikasi]). Apalagi
saya yang berangkat dari EDUQO sebagai portal berita teknologi untuk
pendidikan, terpanggil dalam menggalinya lebih lanjut mengenai fenomena
kaderisasi Guru Ultra-Hi-Tech ini.
Sekilas mengenai seminar tersebut bahwa peran dan posisi ICT dalam
proses KBM di kelas, sangat mendukung Rencana Strategis (Renstra)
Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) 2010-2014; khususnya pada
satu dari lima Renstra tersebut, yaitu ”
Meningkatkan Kualitas/Mutu dan Relevansi Layanan Pendidikan” (dengan strategi teknisnya: ”
Penyempurnaan Sistem Pembelajaran”).
Bahkan ICT untuk pendidikan, tergolong sebagai salah satu dari sembilan
terobosan pendidikan yang diakui pemerintah berdampak masal. Tetapi,
berdasarkan data yang dipresentasikan Bapak Mohammad Ihsan selaku
Sekretaris Jendral Ikatan Guru Indonesia (IGI), bahwa terdata di
Republik ini sekitar 79% guru tidak menggunakan internet. Padahal dalam
konteks ICT betapa mengakses internet merupakan salah satu keterampilan
dasar (selain tentu saja sebelumnya piawai mengoperasikan komputer)
memasuki dunia teknologi selanjutnya.
Fakta nasional tersebut semakin mengkhawatirkan jika saya komparasikan dengan data riset
World Economic Forum mengenai ranking ”
Networked Readiness Index”
Republik Indonesia. Indeks tersebut mengukur kesiapan berjejaring
secara internet maupun intranet suatu negara dengan parameter tiga
aspek:
1-Lingkungan ICT yang tersedia baik dalam lingkup negara atau komunitas;
2-Kesiapan pelaku utama ICT baik secara individu, bisnis, ataupun pemerintahan; dan
3-Penggunaan ICT di kalangan stakeholder.
Dengan ranking indeks itu, suatu negara yang menempati posisi puncak,
menunjukkan tingkat daya saing dan kemajuan peradaban tertingginya
dibandingkan negara lain. Sekalipun pada periode tahun 2011 Republik
Indonesia naik ranking dengan menempati posisi ke-53 setelah sebelumnya
pada tahun 2010 menempati ranking ke-67 (naik 14 tingkat); namun masih
jauh kalah dengan Singapura (ranking ke-2) yang padahal secara
kemerdekaan negara lebih telat 20 tahun dibandingkan Indonesia.
Di tingkat ASEAN, Indonesia memang menempati ranking ke-3 di bawah
Malaysia (ranking ke-28) dan tentu saja ranking ke-1 yaitu Singapura;
namun masih memerlukan kerjasama keras dan cerdas antar internal
komponen bangsa, agar bisa memasuki, setidaknya 10 besar negara dengan
tingkat ”
Networked Readiness Index” tertinggi, menggeser salah satu negara berikut ini:
Peringkat ke-1: Swedia.
Peringkat ke-2: Singapura.
Peringkat ke-3: Finlandia.
Peringkat ke-4: Swiss.
Peringkat ke-5: Amerika Serikat.
Peringkat ke-6: Taiwan.
Peringkat ke-7: Denmark.
Peringkat ke-8: Kanada.
Peringkat ke-9: Norwegia.
Peringkat ke-10: Korea Selatan.
Guru-guru dengan kualitas Ultra-Hi-Tech sangat dibutuhkan Republik
Indonesia hari ini demi mencetak generasi bangsa masa mendatang dengan
SDM kompetitif secara kualitatif. Bahkan secara historis, urgensi
aplikasi ICT dalam segenap aspek kehidupan bangsa Republik Indonesia
sesungguhnya telah mulai menjadi perhatian pemerintah sejak era
reformasi sekitar tahun 1998. Pada fase ”kebebasan” bersuara itu,
pemerintahan era reformasi bahkan membentuk satuan khusus (
task force) yang bertugas merencanakan dan melaksanakan penerapan ICT di Indonesia.
Task force tersebut mengklimaks pada tahun 2006 dengan
dibentuknya Dewan TIK Nasional (DeTIKNas)—tentu kita telah mengetahui
terminologi ”TIK” (Teknologi Informasi dan Komunikasi) lebih dikenal
ketimbang ”ICT” (
Information and Communication Technology) di
kalangan dunia pendidikan—melalui Keputusan Presiden No. 26 tahun 2006.
Satu fakta menarik yang saya temukan dalam buku ”Jejaring e-Pendidikan
2011” terbitan Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan
(PUSTEKKOM), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2011; bahwa
salah satu program kerja unggulan DeTIKNas yaitu
penerapan TIK untuk pendidikan (e-pendidikan) yang pelaksanaannya terletak pada otoritas Kementrian Pendidikan Nasional.
|
Ilustrasi Guru Masa Depan Indonesia |
Guru sebagai ujung tombak dalam proses pendidikan di sekolah, tentunya
menjadi sosok pertama yang menerapkan TIK untuk pendidikan terkhusus
dalam proses KBM. Apalagi pemerintah memang mengakui, keberhasilan
penerapan TIK untuk pendidikan, berefek positif terhadap efektivitas dan
efisiensi proses pendidikan itu sendiri. Efek positif selanjutnya dari
penerapan TIK untuk pendidikan yaitu menghasilkan masyarakat
berpengetahuan (
knowledge-based society). Harapan pemerintah
bahwa kelak muncul generasi bangsa Indonesia berpengetahuan yang terus
mengembangkan diri secara kontinyu (
long life learning) dan meningkatkan produktivitasnya.
Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) sebagai salah satu
infrastruktur yang berfungsi tak ubahnya ”jalan raya” untuk lalu lintas
pengakses ke pusat-pusat penyedia aplikasi dan konten e-pembelajaran,
sudah mengembangkan aneka bentuk e-pembelajaran. Dalam hal ini, terdapat
peran Guru yang dituntut untuk memiliki tingkat kemampuan teknologi
tertentu secara personal, khususnya untuk menggunakan dua bentuk
e-pembelajaran dari empat yang bisa dimanfaatkan secara luas, yaitu: (1)
Portal Rumah Belajar; dan (2)
Buku Sekolah Elektronik (BSE). Bentuk e-pembelajaran itu sendiri memberikan manfaat diantaranya bagi para Guru sebagai berikut:
(1) Memperoleh materi pembelajaran dengan akses lebih mudah;
(2) Meningkatkan kompetensi pedagogik pendidik, salah satunya kreativitas serta inovasi mengembangkan konten pembelajaran; dan
(3) Meningkatkan komunikasi interaktif dengan para peserta didik tanpa batas ruang dan waktu.
Lalu, bagaimanakah kesiapan para Guru menyikapi perubahan metode KBM
kaitannya dalam penguasaan teknologi untuk mengaplikasikan bentuk
e-pembelajaran tadi?
Saya sarikan tiga type Guru dalam perspektif ICT hasil diskusi saya
dengan Pak Agus Sampurno yang jeli mengamati rekan seprofesinya di
lapangan, apalagi saat beliau menjalankan perannya sebagai
The New Era Teachers Ambassador 2011, versi produsen komputer Acer:
Type pertama: Low-Tech Teacher.
Pada kategori ini, berkumpulnya komunitas Guru yang benar-benar tidak
mengerti sama sekali bagaimana cara mengoperasikan komputer sekalipun!
Anak-anak abad 21 lazim menyebut fenomena demikian dengan sebutan
”gaptek” (gagap teknologi). Menurut Pak Agus, beberapa Guru
low-tech ini masih kebingungan untuk apa
mouse yang berada di samping komputer tersebut. Bagi mereka, komputer merupakan benda ”mewah” menakutkan untuk disentuh.
Type kedua: Mid-Tech Teacher.
Guru-guru pada kelompok ini sudah mulai bisa menggunakan komputer,
mencakup penguasaan MS Office [Excel, Word, Power Point] dan termasuk
Internet tingkat dasar; sebutlah mengirim e-mail bahkan hanya sekedar
aktif di jejaring sosial seperti Facebook. Tetapi, mereka belum
mengetahui bahwa betapa banyak software, aplikasi, situs, fitur apapun
itu namanya dalam ruang lingkup ICT; yang sebetulnya memiliki nilai
pendidikan kental untuk mempermudah proses KBM.
Type ketiga: Hi-Tech Teacher.
Penguasaan teknologinya sudah di atas rata-rata pada umumnya para Guru.
Mereka memahami bahwa terdapat software pembelajaran bertebaran bahkan
tanpa dikenai biaya; mengerti aplikasi pembelajaran yang bisa membantu
proses KBM mereka; mengetahui situs penyedia materi tambahan pelajaran
yang bisa memahamkan siswanya lebih dalam; tetapi guru pada kategori ini
segera berdalih: “
Jadi, untuk apa kami mengajar, jika teknologi sudah menjadi ‘Guru’ bagi para murid?!”
Pak Agus memahami benar bahwa
sense of learning di antara beberapa Guru berada dalam tingkat menyedihkan.
Need for achievement
para Guru tersebut untuk memberikan proses KBM yang terbaik masih
lemah, terkecuali diiming-imingi “amplop” pelicin dan atau kredit
sertifikasi tertentu demi menunjang kenaikan karirnya. Bahkan data yang
terkuak oleh IGI pada seminar yang diatas tadi sempat saya sebut
mengungkap; jikapun Guru telah naik jabatan dengan kenaikan sejumlah
remunerasi tertentu, hanya 7% saja yang mereka investasikan untuk
membeli media pembelajaran yang menunjang. Tantangan dalam aplikasi ICT
untuk pendidikan, berupa kesiapan Guru secara SDM itu memang mengklimaks
pada permasalahan mendasar:
MINDSET.
Itupun yang menjadi alasan kuat betapa salah satu dari tema pelatihan IGI yaitu
motivation training agar Guru senantiasa memberikan yang terbaik dalam proses KBM mereka serta
ICT training
terkhusus pada aplikasi teknologi untuk proses KBM juga. Begitupun
dengan Acer melalui ajang Guraru (Guru Era Baru) Award sebagai bentuk
apresiasi terhadap Ultra-Hi-Tech Teacher dalam pemanfaatan teknologi
secara efektif dan kreatif. Belum lagi Konsorsium Gerakan Guru Melek
Internet (KGGMI); Asosiasi Perguruan Tinggi Komputer (Aptikom); hingga
bahkan PT Telkom Indonesia yang mengampanyekan agar Guru mengoptimalkan
ICT. Hal ini beralasan kuat pada satu hal bahwa untuk mengedukasi para
Guru tersebut agar “melek” ICT, bukanlah pekerjaan hanya satu institusi,
melainkan kerja gotong-royong semua komponen bangsa.
Maka jawaban solutif untuk menjawab fenomena kultur kontra-produktif
yang “sangat khas Indonesia” ini berupa pemberian contoh dengan
mengkader
Ultra-Hi-Tech Teacher: sosok yang sangat menguasai ICT,
namun tetap mengajar di lapangan dengan pemahaman bahwa murid pun masih
memerlukan sentuhan manusia. Inilah eranya “
Hi-Tech, Hi-Touch” dimana keseimbangan hidup senantiasa dipertahankan untuk menjaga keserasian kehidupan alam semesta.
Jadi, Anda yang berprofesi sebagai Guru, termasuk kategori yang mana?
Sumber: http://www.eduqo.com/2012/06/tiga-type-guru-dalam-perspektif-ict.html